Potret transformasi masyarakat desa hutan
Citra lokal
dengan segenap retorikanya kini bukan lagi menjadi monopoli kaum pemerhati
wisata lingkungan dan budaya, akan tetapi juga menjadi isu penting segenap
kalangan. Tasaday pernah mejadi perbincangan di tahun 70 an, bermula dari
pemberitaan media massa yang menyebut bahwa mereka adalah manusia primitif yang
arif. Mereka hidup di wilayah filipina bagian sellatan. Manuel Elizade
merupakan direksi komisi khusus presiden untuk golongan minoritas. Bahkan orang
orang Tasaday menjulikinya sebagai “dewa”.
Pada
sekitar tahun 80 an terjadi perubahan politik di Filipina, presiden Marcos dan
para pembantunya termasuk Elizade dipaksa untukmeninggalkan negrinya. Pada saat itulah para wartawan
kembali mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan kaum Tasaday. Mereka kembali
memasuku wilayah yang sebelumnya oleh pemerintahan Marcos dinyatkan
tertutup untuk orang luar. Kasus yang
hampir sama juga pernah terjadi di tahun 90 an. Ketika media massa ramai
menyiarkan berita mengenai orang Penan, masyarakat desa hutan di serawak,
Malaysia yang melakukan protes menentang kebijakan hutan yang disponsori
pemerintah. Pada masa itu, protes yang sama juga dilakukan oleh kalangan media
massa setempat serta aktivis lokal, dari tingkat desa hingga nasional.
Pada
akhir dasawarsa 90an gerakan apresiasi masyarakat local mulai mencapai
puncaknya, gerakan tersebut mulai memperoleh pengakuan dari segenap forum
internasional yang cukup bergengsi. Salah satunya ialah KTT bumi, deklarasi rio
merupakan produk dari KTT bumi yang menyatakan bahwa masyarakat internasional
harus memperhatikan dan mengakui keberadaan masyarakat lokal.
Transformasi masyarakat desa hutan
Masyarakat
pedalaman dimana masyarakat desahutan termasuk di dalamnya, sering dipandang
sebagai masyarakat yang bodoh yang mempertahankan cara hiadup tradisional.
Dalam konteks indonesia, bagi kalangan pengusaha swasta hutan di daerah
pedalaman merupakan sumber daya yang dapt dimanfaatkan untuk perluasan kegiatan
komersialisasi dibidang pertanian maupun ekonomi berskala besar. Namun bagi
kalangan aktivis antropologi, ekologi dan pegiat sosial ini menjadi kepentingan
bersama-sama antara mereka dan masyarakat pedalaman itu sendiri untuk
memelihara dan menjaga tradisi yang unik denagan cara membantu dan
mengembangkan sumber daya yang ada disekitaranya secara optimal. Sementara itu
bagi kalangan ahli lingkungan, prioritas utama mereka ialah bagaiamana cara
mempertahankan keanekaragaman hayati dan upaya konservasi.
Kepentingan-kepentingan
yang berbeda inilah yang dapat menyebabkan adanya tekanan terhadap masyarakat
dalam mengahadapi persoalan tersebut, yang mau tidk mau harus diatasi dalam
praktik kehidupan sehari hari.
Dalam
kasus daerah pedalaman yang ada di indonesia, perhatian yang ampuh terhadap
sejarah regional akan dapat mengungkapkan bahwa interaksi yang berlangsung
lama, dengan program pemerintah, serta dengan pasaran nasional dan
internasional sangat penting untuk pembentukan ulang kebudayaan.
Perubahan
politik dan dinamika ekonomi yang terjadi di indonesia pun juga sulit dirasakan
masyarakat lokal baik pada ranah negosiasi maupun resistensi yang membawa
konsekuensi pada pergeseran makna yang dipahami akan komunitas dan identitas
baru, keinginan dan aspirasi baru, dan gambaran baru mengenai masa depan.
Tetapi justru hal inilah yang seharusnya kita atasi sebagai solusi dimana kita
berpijak sebagai manusia yang berteman denagn mereka semua. Agar permasalahan
yang terjadi dapat dengan jelas kita amati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar