Kamis, 10 Maret 2016

Review jurnal analisis sosial bab “renegosiasi citra lokal: potret transformasi masyarakat desa hutan”




Potret transformasi masyarakat desa hutan

Citra lokal dengan segenap retorikanya kini bukan lagi menjadi monopoli kaum pemerhati wisata lingkungan dan budaya, akan tetapi juga menjadi isu penting segenap kalangan. Tasaday pernah mejadi perbincangan di tahun 70 an, bermula dari pemberitaan media massa yang menyebut bahwa mereka adalah manusia primitif yang arif. Mereka hidup di wilayah filipina bagian sellatan. Manuel Elizade merupakan direksi komisi khusus presiden untuk golongan minoritas. Bahkan orang orang Tasaday menjulikinya sebagai “dewa”.
            Pada sekitar tahun 80 an terjadi perubahan politik di Filipina, presiden Marcos dan para pembantunya termasuk Elizade dipaksa untukmeninggalkan  negrinya. Pada saat itulah para wartawan kembali mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan kaum Tasaday. Mereka kembali memasuku wilayah yang sebelumnya oleh pemerintahan Marcos dinyatkan tertutup  untuk orang luar. Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi di tahun 90 an. Ketika media massa ramai menyiarkan berita mengenai orang Penan, masyarakat desa hutan di serawak, Malaysia yang melakukan protes menentang kebijakan hutan yang disponsori pemerintah. Pada masa itu, protes yang sama juga dilakukan oleh kalangan media massa setempat serta aktivis lokal, dari tingkat desa hingga nasional.
            Pada akhir dasawarsa 90an gerakan apresiasi masyarakat local mulai mencapai puncaknya, gerakan tersebut mulai memperoleh pengakuan dari segenap forum internasional yang cukup bergengsi. Salah satunya ialah KTT bumi, deklarasi rio merupakan produk dari KTT bumi yang menyatakan bahwa masyarakat internasional harus memperhatikan dan mengakui keberadaan masyarakat lokal.

Transformasi masyarakat desa hutan

            Masyarakat pedalaman dimana masyarakat desahutan termasuk di dalamnya, sering dipandang sebagai masyarakat yang bodoh yang mempertahankan cara hiadup tradisional. Dalam konteks indonesia, bagi kalangan pengusaha swasta hutan di daerah pedalaman merupakan sumber daya yang dapt dimanfaatkan untuk perluasan kegiatan komersialisasi dibidang pertanian maupun ekonomi berskala besar. Namun bagi kalangan aktivis antropologi, ekologi dan pegiat sosial ini menjadi kepentingan bersama-sama antara mereka dan masyarakat pedalaman itu sendiri untuk memelihara dan menjaga tradisi yang unik denagan cara membantu dan mengembangkan sumber daya yang ada disekitaranya secara optimal. Sementara itu bagi kalangan ahli lingkungan, prioritas utama mereka ialah bagaiamana cara mempertahankan keanekaragaman hayati dan upaya konservasi.
            Kepentingan-kepentingan yang berbeda inilah yang dapat menyebabkan adanya tekanan terhadap masyarakat dalam mengahadapi persoalan tersebut, yang mau tidk mau harus diatasi dalam praktik kehidupan sehari hari.
            Dalam kasus daerah pedalaman yang ada di indonesia, perhatian yang ampuh terhadap sejarah regional akan dapat mengungkapkan bahwa interaksi yang berlangsung lama, dengan program pemerintah, serta dengan pasaran nasional dan internasional sangat penting untuk pembentukan ulang kebudayaan.
            Perubahan politik dan dinamika ekonomi yang terjadi di indonesia pun juga sulit dirasakan masyarakat lokal baik pada ranah negosiasi maupun resistensi yang membawa konsekuensi pada pergeseran makna yang dipahami akan komunitas dan identitas baru, keinginan dan aspirasi baru, dan gambaran baru mengenai masa depan. Tetapi justru hal inilah yang seharusnya kita atasi sebagai solusi dimana kita berpijak sebagai manusia yang berteman denagn mereka semua. Agar permasalahan yang terjadi dapat dengan jelas kita amati.

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar