Kepemimpinan merupakan
rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain. Dalam situasi tertentu, seorang pemimpin harus mempunyai komitmen
bahwa setiap kebijakannya ialah untuk kepentingan rakyat. selain itu, ia juga
harus mampu bekerjasama baik dengan
masyarakat maupun dengan dirinya sendiri demi mencapai tujuan yang ditetapkan.
Pada era globalisasi, pemimpin
dihadapkan pada tantangan tersendiri dalam menghadapi masyarakat, salah satunya
perubahan – perubahan yang tidak menentu.
Kecanggihan teknologi membuat ketidakstabilan karena budaya-budaya asing dengan
mudah masuk dan bercampur dengan budaya lokal. Sehingga, hal ini berpengaruh
pada kondisi masyarakat serta
berpengaruh pada kebijakan yang dibuat oleh pemimpin itu sendiri.
Di Indonesia, dengan
sistem demokrasi, penentu kebijakan memang berada di tangan eksekutif dalam hal
ini pemerintah. Namun dalam penetapannya, pemerintah mendapatkan rekomendasi
atas kebijakan yang pro dengan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Secara
politik, DPR memiliki tiga fungsi utama, salah satunya menjalankan fungsi
legislasi yaitu fungsi pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
Kebijakan DPR inilah
yang harus benar-benar ditetapkan sesuai kepentingan rakyat. karena apabila
kebijakannya tidak tepat akan melahirkan beberapa masalah sosial yang terjadi.
Antara lain ialah kemiskinan dan
kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, kekuasaan DPR
sebagai lembaga negara dan sebagai pemangku kebijakan harus jeli melihat
persoalan seperti ini.
Pada konsepnya, masalah
kepemimpinan merupakan masalah yang rumit. seperti yang di gagas oleh Max Weber (Jerman) yang mengartikan bahwa kekuasaan
adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk memaksakan kehendaknya
pada orang atau kelompok lain. Maka, sebagai seseorang yang berkuasa tentu
mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai wakil rakyat.
Namun yang menjadi
permasalahan saat ini ialah apakah kebijakan yang di buat oleh DPR sebagai
pemimpin rakyat itu benar-benar pro dengan rakyatnya?. Atau bahkan mereka yang
telah terpilih sebagai wakil rakyat justru mengedepankan kepentingan kelompok
serta partai politik yang mendukungnya. Sehingga, masyarakatpun hanya di
jadikan komoditas untuk menjual janji-janji politik pada saat musim kampanye
berlangsung.
Bahkan faktanya, kesenjangan yang ada di
Indonesia masih terhitung cukup banyak. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat bahwa penduduk Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan
di bawah garis kemiskinan pada Maret 2016 mencapai 28,01 juta jiwa atau sebesar 10,86
persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Selain masih banyaknya masyarakat miskin,
masalah lain yang timbul di negara ini ialah banyaknya praktek korupsi yang
dilakukan oleh petinggi-petinggi negara. Mereka yang menyebutkan dirinya
sebagai wakil rakyat sudah banyak ditunggangi oleh kepentingan individu dan
kelompoknya. Bahkan data dari Indonesian Coruption
Watch (ICW) menyatakan bahwa pada tahun 2015 negara mengalami kerugian mencapai Rp. 3,1 triliun akibat dari 550 kasus korupsi
yang dilakukan oleh elit politik.
kekuasaan telah membuat seseorang lalai akan tanggung jawab sebenarnya,
bahkan rela mengorbankan negaranya tetap ia lakukan.
Mewujudkan Politik Rahmatan Lil ‘alamin
Berbicara mengenai politik, sebagian masyarakat
mungkin akan merasa jenuh dan memandang sebelah mata dunia perpolitikan. Bahkan
sebagian masyarakat benar-benar tidak mengerti esensi dari politik itu sendiri.
Sehingga, sudah bukan rahasia lagi saat-saat musim kampanye atau musim
pemilihan umum berlangsung, praktek Money
Politik terjadi di mana-mana. Terutama masyarakat dengan kelas menengah
kebawah, yang biasanya dibeli hak suaranya dengan sangat murah.
Padahal, politik dan kekuasaan perlu mendapat dukungan
penuh dari masyarakat. Politik menjadi penentu kemana arah bangsa kedepannya.
Serta, bagaimana ia mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia
menggunakan kekayaan sumber daya alam maupun sumber daya manusia dalam negeri.
Ini bisa terwujud dengan menjadikan dunia politik yang di anggap penuh dengan
kebohongan menjadi politik yang Rahmatan
Lil ‘alamin atau menjadi rahmat bagi semsesta alam.
Politik seperti ini sangat tepat apabila di
terapkan dalam bernegara. Apalagi di Indonesia terdiri dari berbagai macam
budaya serta kepercayaan. Tidak hanya itu saja, bahwa sebagai mayarakat dengan
penduduk muslim terbesar di dunia, tentu mempunyai kewajiban lain selain
hubungannya dengan manusia, yaitu hubungan dengan alam semsesta.
Seperti salah satu partai politik yang berbasis
Islam. Partai kebangkitan bangsa (PKB) misalnya. Dengan menjunjung tinggi asas
toleransi, partai ini tidak hanya memihak kepada masyarakat muslim saja apalagi
hanya NU saja. Namun partai ini benar-benar melihat akan kemajemukan
masyarakat, sehingga fanatisme terhadap Islam tidak di lakukan di internal PKB.
Hal ini dibuktikan dengan adanya salah satu
sosok dari PKB yang menjadi presiden RI ke-empat, K.H. Abdurrahman Wahid atau
yang akrab di panggil Gus Dur. Pada saat beliau menjabat sebagai presiden Indonesia menggantikan Presiden B.J.
Habibie setelah
dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu tahun 1999,
ia membuat beberapa reformasi. Reformasi
pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto
dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial
yang korup.
Bahkan H.A Muhaimin Iskandar dalam sebuah talk show yang bertajuk
“Mengahadirkan Kembali Spirit Gus Dur” yang digelar DPP PKB di Jakarta, 22
Desember tahun lalu memberikan contoh menarik kepada audience terkait sosok Gus
Dur. bagaimana ia berjuang menegakkan demokrasi di Indonesia. menurutnya, ancaman
terbesar di era modern saat unu ialah paham radikalisme terhadap kebhinekaan.
(Sumber: http://dpp.pkb.or.id/content/mengenang-gus-dur)
Yang perlu di garis bawahi dalam hal ini ialah
bagaimana PKB serta partai lain menjadi partai yang Rahmatan lil ‘alamin. Dalam
artian semua anggota di dalamnya benar-benar menjadi rahmat bagi semesta alam,
tidak haus akan kekuasaan apalagi mementingkan kepentingan individu dan
kelompoknya. Sehingga, politik yang mereka jalani, menjadi politik dengan asas Pancasila dalam
kata yang lain ialah Rahmatan Lil ‘alamin.
Poin yang terpenting, bagaimana partai politik
tersebut melahirkan anggota-anggota dengan mental yang baik. Salah satunya mencetak pemimpin dengan karakter SATFA,
yaitu Shiddiq (jujur), Amanah (bisa dipercaya), Tabligh (menyampaikan) serta yang
terakhir ialah Fathonah (pintar). Apabila seluruh pemimpin yang di usung oleh
partai politik memiliki ke empat karakter ini maka politik di Indonesia akan
menjadi Politik Rahmatan Lil ‘alamin. tidak hanya itu, pemimpinnya dipastikan
ialah menjadi pemimpin untuk rakyat bukan pemimpin untuk partai pengusungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar